Baru-baru ini, Bea Cukai kembali mendapat sorotan, setelah salah seorang warganet media sosial X—sebelunya Twitter—mengeluh soal importasi peti jenazah dari luar negeri. Ia menyebut, temannya dipungut bea masuk sebesar 30% dari harga peti jenazah karena dianggap barang mewah oleh pihak Bea Cukai, ketika hendak mengirim peti jenazah sang ayah yang wafat di Penang, Malaysia ke Indonesia.
Namun, Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar, dalam keterangan tertulis pada Minggu (12/5) membantah hal itu. Setelah dilakukan pengecekan atas pengiriman peti jenazah dan jenazah dari Penang, kata dia, tak ada yang ditagih atau dipungut bea masuk ataupun pajak impor.
Encep menjelaskan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Peti atau Kemasan Lain yang Berisi Jenazah atau Abu Jenazah disebutkan, peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah bagi keperluan pengangkutan ke dalam daerah pabean Indonesia, diberikan pembebasan bea masuk.
“Serta diberikan pengiriman rush handling atau pelayanan segera terhadap importasi peti jenazah dan jenazah,” ujar Encep.
Rush handling adalah pelayanan kepabeanan yang diberikan atas barang mpor tertentu, yang karena karakteristiknya, memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawasan pabean, salah satunya jenazah.
Setelah itu, warganet tadi meralat pernyataannya pada Minggu (12/5). Ia menjelaskan, pungutan biaya terhadap peti jenazah ayah temannya bukan dari Bea Cukai, tetapi dari pihak swasta.
Bea Cukai beberapa kali memang kerap menjadi sorotan. Misalnya, seorang pengguna TikTok yang mengeluh karena membeli sepatu impor seharga Rp10,3 juta dan harus membayar tagihan pajak dari Bea Cukai sebesar Rp31,81 juta.
Yang paling bikin heboh, ketika alat tentang pembelajaran siswa tunanetra yang dikirim dari sebuah perusahaan Korea Selatan sebagai hibah, tertahan selama dua tahun di Bea Cukai. Penahanan oleh Bea Cukai itu terkait tagihan bea masuk dan denda yang mencapai ratusan juta rupiah.
Menanggapi persoalan ini, pengamat ekonomi sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam mengatakan, barang-barang yang dikategorikan impor pasti kena pungut bea masuk.
“Kita beli di luar negeri, kemudian kita masukkan ke Indonesia akan kena bea masuk,” kata Piter kepada Alinea.id, Senin (13/5).
Sementara itu, jika barang yang dibeli saat di luar negeri dan sudah terpakai, bisa dikategorikan sebagai barang pindahan. Artinya, tidak kena bea masuk. Namun, bila jumlahnya lebih besar atau tak hanya bawa satu saja, bisa diartikan impor.
Misalnya ponsel, yang dapat masuk ke Indonesia maksimal dua unit. Setiap penumpang dari luar negeri, bakal dikenakan pungutan bea masuk 10%, pajak pertambahan nilai (PPN) 11%, pajak penghasilan (PPh) 10% bagi yang punya NPWP, dan PPh 20% bagi yang tak punya NPWP.
“Misal kita beli jam mahal di luar negeri langsung kita pakai, enggak dikenakan bea masuk,” ujar dia.
“Demikian juga dengan, hp (handphone) misalnya. Kalau kita beli satu hp, kita masukkan tas jinjing dapat dikategorikan hp bekas, tidak kena bea masuk. Kalau lebih dari satu hp sudah diartikan lain.”
Semua langkah tadi, kata Piter, sebatas untuk mencegah adanya penyelundupan yang akan merusak perekonomian nasional. Semisal, penerimaan pajak tidak tercapai, APBN menjadi defisit, dan pemerintah terpaksa berutang.
“Sebenarnya, kita harus mendukung kerja Bea Cukai. Kalau marak penyelundupan, kita semua yang rugi,” ucap Piter.